NENEKPAKANDE Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Bugis Makassar. October 18, 2020 · NENEK PAKANDE Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Related Videos. 0:55. Lagu Menagih utang secara halus 🤣 Dongengdan cerita rakyat Nenek Pakande, Siluman Pemangsa Manusia. Di Sulawesi Selatan, kisah Nenek Pakande dikenal sebagai cerita rakyat yang sudah melegenda. Cerita rakyat nenek pakande ini disamp NENEKPAKANDE ~ Cerita Rakyat Sulawesi Selatan | Dongeng Kita#ceritarakyat #dongengkita NenekPakande sudah menjadi cerita rakyat bagi masyarakat sulawesi selatan. Nenek Pakande biasa melakukan aksinya saat pergantian hari, yaitu saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Karena, tidak ada yang mencurigai kehadiran Nenek Pakande di daerah tersebut, maka ia leluasa melakukan aksinya. 4 Nenek Pakande. Cerita rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande adalah legenda yang dipercayai oleh masyarakat Soppeng. Melansir Histori.id, diceritakan dahulu pernah ada suatu desa yang tenteram, namun datang seorang nenek yang sebenarnya adalah seorang siluman pemakan bayi dan anak-anak. Seringkali anak-anak warga desa tersebut hilang tak tahu ceritarakyat yang melegenda dari daerah Soppeng, Sulawesi selatannenek pakande suka menangkap anak-anak yang bermain sampai malam#nenekpakande#sumatraselata NenekPakande || Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. March 13, 2015. Alkisah di suatu daerah di Soppeng (sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan), terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang NENEKPAKANDE ~ Cerita Rakyat Sulawesi Selatan | Dongeng Kita #ceritarakyat #dongengkita source ynCAUXx. Banyak legenda dari berbagai daerah di Indonesia yang menarik untuk disimak. Salah satunya adalah cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Bila penasaran, langsung simak ulasannya dalam artikel ini, yuk!Cerita rakyat Nenek Pakande menjadi salah satu legenda yang populer di Provinsi Sulawesi Selatan. Kisah wanita tua ini sering diceritakan oleh para orangtua kepada anak-anaknya supaya jangan bermain di luar rumah pada malam kamu belum familier dengan ceritanya, maka ulasan tentang legenda Nenek Pakande bisa kamu jumpai di artikel ini. Ada juga pembahasan mengenai unsur intrinsik, pesan moral, beserta fakta menarik dari kisah nenek tua kira-kira seperti apa cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan beserta ulasan lengkapnya? Daripada semakin penasaran, lebih baik kamu langsung simak pembahasannya dalam uraian berikut, yuk!Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Konon pada zaman dahulu kala, terdapat suatu desa yang makmur dan damai di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Penduduk desa ini sebagian besar berprofesi sebagai petani. Selain itu, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pandai besi. Biasanya, suasana desa akan semakin ramai bila musim panen tiba karena banyaknya warga yang melakukan transaksi di pasar. Sayangnya, suasana desa yang aman dan sejahtera itu terusik dengan kedatangan seorang nenek tua bernama Nenek Pakande. Ia memiliki perawakan badan yang setengah membungkuk, rambut berwarna putih, dan wajah yang sudah berkeriput. Meskipun penampilannya seperti wanita-wanita tua kebanyakan, Nenek Pakande sebenarnya bukanlah manusia biasa. Wanita tua ini merupakan siluman pemakan manusia yang menjelma sebagai manusia untuk mencari mangsanya. Menurut legenda, Nenek Pakande adalah pemakan daging manusia. Wanita tua ini akan menculik bayi ataupun anak-anak kecil yang akan menjadi santapannya. Oleh sebab itu, beberapa kali terdengar kabar bahwa ada anak-anak kecil dan bayi di desa-desa lainnya. Nenek Pakande berkeliling ke desa di daerah Soppeng itu pada malam hari guna mencari mangsa baru. Ia diam-diam mengamati interaksi penduduk di desa di balik semak-semak yang mengelilingi desa tersebut. Pada suatu malam, ada dua anak kecil bersaudara yang tengah asyik bermain di halaman rumah. Ibu dari kedua bocah itu telah berkali-kali meminta anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah dan mandi. “Ayolah anak-anak, turuti permintaan ibu. Ibu masih sibuk mempersiapkan makan malam untuk kalian dan ayah,” ujar ibu mereka. Karena anak-anak itu tetap mengabaikannya, sang ibu masuk ke dalam rumah dengan kesal karena harus cepat-cepat memasak. Melihat situasi yang sudah sepi, Nenek Pakande dengan cepat menculik kedua anak itu dan membawanya ke tempat persembunyiannya. Sang ibu yang keluar dari rumah untuk mengecek anak-anaknya, wajahnya berubah pucat pasi karena ia kedua anaknya sudah tak ada. Penculikan Anak dan Bayi yang Dilakukan oleh Nenek Pakande Sang ibu mencari anak-anaknya di sekitar rumah, bahkan hingga di pelosok-pelosok desa. Namun, usaha si ibu tidak membuahkan hasil. Ia lalu meminta pertolongan orang-orang kampung. Di bawah sinar bulan, warga desa berkumpul dan bertanya kepada ibu itu berteriak minta tolong. Sang ibu menjelaskan kalau kedua anaknya tiba-tiba menghilang padahal sebelumnya masih asyik bermain di pekarangan rumah. Salah satu warga lalu berinisiatif untuk menemui pemimpin kampung mereka. Rombongan warga ini kemudian mendatangi rumah sang kepala desa. Kedatangan para warga tentunya membuat sang kepala desa terkejut. “Ada apa kalian beramai-ramai ke sini di malam yang sudah larut ini?” tanya sang pemimpin desa. “Maafkan telah mengganggu waktu istirahat bapak. Tapi, ada warga kita yang kehilangan anak, pak” ujar salah satu warga. “Kehilangan anak? Kok bisa?” tanya sang kepala desa dengan penuh kebingungan dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Sang ibu yang kehilangan kedua anaknya kemudian menjelaskan kejadian tragis yang menimpa dirinya. Kepala desa lalu meminta para warga untuk mencari lagi di seluruh pelosok desa dan sekitaran hutan yang mengelilingi kampung itu. Para warga melakukan pencarian dengan menggunakan obor-obor dari bambu sebagai sumber penerangan. Sayangnya, sampai tengah malam sekalipun, pencarian itu hasilnya nihil. Sang kepala desa kemudian menyuruh para warganya pulang ke rumah untuk tidur dan mengumpulkan tenaga untuk pencarian di esok hari. Keesokan harinya, para warga berkumpul di depan rumah sang kepala desa. Mereka berdiskusi tentang area mana saja yang perlu diperiksa kembali dalam pencarian. Tiba-tiba saja, datang seorang ibu-ibu yang melaporkan bahwa bayinya hilang. Sang ibu menjelaskan bahwa bayinya hilang saat ia tidur padahal mereka tidur di ruangan yang sama. Kepala desa menanyakan kemana suami sang ibu ini, tapi ia mengatakan kalau suaminya tengah pergi ke kampung sebelah untuk menjenguk saudaranya yang sakit. Diskusi Rencana untuk Mengalahkan Nenek Pakande Para warga yang memiliki anak-anak kecil pun merasa ketakutan. Mereka khawatir kalau anak-anak mereka akan menjadi korban selanjutnya. Para penduduk di desa itu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ketika warga tengah sibuk berdiskusi untuk mencari solusi masalah penculikan itu, tiba-tiba seorang pemuda bernama La Beddu angkat bicara. “Sepertinya anak-anak dan bayi yang hilang diambil oleh Nenek Pakande,” ujar laki-laki ini. “Minggu lalu tersiar juga kabar bahwa ada anak kecil dari kampung sebelah yang menghilang,” lanjut La Beddu. “Kita sepertinya perlu mengalahkan Nenek Pakande jika tidak ingin anak-anak kecil lainnya menjadi korban selanjutnya,” lanjut pemuda itu. “Tapi, bukankah Nenek Pakande adalah seorang yang sakti?” tanya salah satu warga. “Benar! Aku dengar tak seorang manusia pun yang bisa mengalahkan Nenek Pakande. Kabarnya sang nenek hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale,” timpal warga lainnya. “Keberadaan Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale sendiri juga tidak diketahui. Tidak ada seorang pun yang pernah berjumpa dengan raja raksasa ini,” ujar salah satu warga. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah raja raksasa yang sebenarnya juga pemakan manusia. Namun, berbeda dengan Nenek Pakande, raksasa ini hanya memangsa manusia-manusia jahat yang perilakunya merugikan orang lain. “Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk bisa mengalahkan Nenek Pakande?” tanya seorang warga dengan nada cemas. Para penduduk lainnya juga diam memikirkan solusi. Baca juga Legenda Asal Mula Sungai Kawat dan Ulasannya, Akibat Sifat Keserakahan Manusia Rencana La Beddu untuk Melawan Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Dalam keheningan itu, La Beddu mengangkat suaranya lagi. “Saya punya rencana untuk memusnahkan Nenek Pakande,” ucapnya dengan yakin. Sebagian penduduk menunggu penjelasannya, sementara sebagian yang lain hanya menatapnya dengan pandangan sebelah mata. “Hei, La Beddu. Kamu jangan main-main, ya. Memangnya kamu punya kesaktian apa sampai memiliki kepercayaan diri untuk bisa mengalahkan Nenek Pakande?” tanya salah satu penduduk dengan nada merendahkan. La Beddu tidak terpancing emosi dan hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Kesaktian tidak selamanya harus dilawan dengan kesaktian juga. Manusia diberi akal untuk bisa berpikir,” jelasnya. “Lalu, kira-kira rencana apa yang kamu miliki untuk melawan Nenek Pakande?” tanya sang kepala desa. “Tuanku, saya butuh salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, batu-batu besar, dan beberapa ekor belut,” jawab La Beddu. Para penduduk desa kemudian membubarkan diri dan segera mencari apa saja yang dipinta oleh La Beddu. Ada yang sibuk membuat salaga, mempersiapkan busa sabun satu ember, dan ada juga yang mencari belut di sawah serta kura-kura di pinggiran sungai. Setelah semua hal yang diminta oleh La Beddu terkumpul, dikisahkan dalam cerita Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan bahwa para penduduk lalu kembali berkumpul di depan rumah sang kepala desa. La Beddu lalu mengecek kelengkapan benda-benda itu. “Bagaimana? Apa masih ada yang kurang?” tanya sang kepala desa kepada La Beddu. “Sudah Tuanku, tapi bolehkah saya meminta seorang bayi yang nantinya akan saya letakkan di Balla Raja?” pinta pemuda itu dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. “Boleh saja. Tapi, jelaskan dulu rencanamu kepadaku dan para penduduk desa,” ucap sang kepala desa. La Beddu lalu menjelaskan rencananya kepada para warga di situ. Ia berencana akan menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Perjumpaan La Beddu dengan Nenek Pakande La Beddu mengungkapkan bahwa ia akan menggunakan selaga sebagai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Sementara itu, busa sabun akan digunakan seperti air liur dan kulit rebung akan dipakai sebagai terompet agar suaranya bisa menggelegar seperti seorang raksasa. Rencananya, mereka akan menarik perhatian Nenek Pakande dengan menaruh bayi salah satu warga di Balla Raja yang merupakan rumah panggung paling besar di desa itu. Ia meminta bantuan para penduduk untuk menaruh belut di tangga pintu masuk Balla Raja dan batu-batu besar di sekitarnya. Tibalah waktu pelaksanaan untuk mengalahkan Nenek Pakande. Di malam yang disinari cahaya bulan purnama, para warga bahu-membahu mempersiapkan jebakan mereka untuk sang nenek. Lalu, setelah semua persiapan selesai, mereka bersembunyi di sekitar Balla Raja. Sementara itu, bayi yang diminta La Beddu telah di taruh di tengah-tengah ruangan rumah panggung tersebut. La Beddu sendiri mempersiapkan dirinya sebagai raksasa. Tak lama kemudian, muncullah Nenek Pakande dari arah hutan. Wanita tua itu melihat kondisi setiap rumah desa yang gelap gulita kecuali rumah panggung yang paling besar. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis seorang bayi dalam rumah itu. Nenek Pakande dengan hati gembira berjalan ke arah Balla Raja dan diam-diam masuk ke dalam rumah. Namun, ketika ia akan mendekati sang bayi, tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar. “Jangan kamu dekati bayi itu. Aku sudah mengincar bayi itu sejak tadi. Pergi kamu!” ujar La Beddu yang sedang berpura-pura menjadi raksasa. “Siapa kamu?! Aku juga ingin mengambil bayi itu. Aku tidak takut denganmu!” ucap Nenek Pakande. “Aku adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan aku ingin kamu pergi sekarang juga dari rumah dan desa ini. Wilayah ini sudah menjadi area kekuasaanku!” ujar La Beddu dengan nada mengancam. “Ah, aku tidak percaya kalau kamu adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale,” jawab Nenek Pakande. Dikisahkan dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan, sang nenek tetap mengacuhkan ancaman si raksasa dan kembali mendekati bayi incarannya. Kesuksesan Rencana La Beddu dan Matinya Nenek Pakande La Beddu lalu menumpahkan seembur air busa yang telah ia siapkan. “Ah, lihatlah! Air liurku sudah mengalir kemana-mana! Kalau kamu tidak segera pergi dari sini, aku akan menjadikanmu sebagai mangsaku!” ucap La Beddu dengan lantang. Kura-kura kecil yang ada di ember dekat La Beddu lalu ditumpahkan ke lantai ruangan itu. “Ah, kutu-kutu ini sangat menggangguku dan membuat kepalaku jadi gatal saja!” keluh La Beddu sambil menjatuhkan selaganya. Melihat kejadian itu, nyali Nenek Pakande yang awalnya tak ingin kalah tiba-tiba menciut. Ia pun berlari ke arah pintu keluar dengan buru-buru untuk menyelamatkan diri. Sayangnya, ketika Nenek Pakanda menuruni anak tangga, kakinya menginjak belut yang licin. Ia pun terpeleset dan kepalanya membentur batu-batu besar yang telah ditaruh oleh para warga di luar pintu. Nyawa Nenek Pakande tak terselamatkan. Para warga yang berjaga-jaga di sekitar Balla Raja dengan rasa cemas bersorak penuh kebahagiaan karena rencana mereka berhasil. La Beddu yang berada di dalam ruangan ikut keluar bergabung dengan para penduduk yang menyelamati satu sama lain atas kesuksesan mereka. Keesokan harinya, mayat Nenek Pakande dibakar dengan menggunakan api yang besar. Abu mayatnya juga ditebar ke berbagai penjuru agar tidak bisa hidup kembali. Begitulah akhir dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Baca juga Legenda Pangeran Biawak Asal Kalimantan Selatan Beserta Ulasan Menariknya Unsur Intrinsik Kisah Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Dalam uraian di atas, kamu telah mengetahui bagaimana dongeng Nenek Pakande. Selanjutnya, tak lengkap rasanya kalau kamu tidak sekalian menyimak tentang unsur-unsur intrinsik dalam ceritanya. Yuk, langsung cek saja! 1. Tema Gagasan utama atau tema dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan adalah melawan kesaktian dengan kecerdikan. Dalam kisahnya, La Beddu berhasil mengalahkan Nenek Pakande menggunakan kecerdikannya dengan mendapatkan bantuan dari penduduk desa. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh yang memiliki peran penting dalam dongeng yang populer di masyarakat Bugis ini. Pertama, Nenek Pakande yang memiliki watak licik, serakah, serta suka menculik anak dan bayi. Selanjutnya, karakter kepala desa yang menjadi sosok pemimpin bijaksana, peduli dengan warganya, serta bisa diandalkan dalam berbagai situasi. Sementara itu, La Beddu adalah pemuda yang pandai, ramah, dan tidak mudah terpancing emosi. Ada juga karakter ibu dari kedua bocah yang diculik yang memiliki watak peduli dengan anak-anaknya dan bisa mengambil keputusan dalam suasana genting. Kedua bocah yang diculik Nenek Pakande dijelaskan sebagai anak yang sedikit bandel dan tidak langsung mematuhi perintah orangtua. Para warga digambarkan sebagai karakter-karakter yang mempunya beragam watak. Sebut saja peduli dengan kesusahan tetangganya, meremehkan anak-anak muda, serta suka memancing emosi. 3. Latar Latar atau tempat kejadian cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan mengambil lokasi di sebuah desa yang berada di daerah Soppeng. Sementara itu, kejadian-kejadian di dalam kisahnya berlangsung di depan rumah ibu dua anak, rumah sang kepala desa, dan Balla Raja. 4. Alur Dongeng dari masyarakat Bugis ini mempunyai alur maju atau progresif. Di awal kisah, terdapat perkenalan desa yang makmur yang kemudian kedamaiannya diusik oleh Nenek Pakande. Puncak konflik terjadi ketika Nenek Pakande berhadapan dengan La Beddu yang berpura-pura sebagai raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Meskipun mulanya tidak percaya, sang nenek memilih untuk kabur karena takut dengan raksasa itu. Sayangnya, Nenek Pakande justru menemui kematiannya setelah kepalanya terbentur batu besar yang disediakan oleh para penduduk desa. Dongeng ditutup dengan dibakarnya mayat sang nenek supaya tidak bisa bangkit lagi. 5. Pesan Moral Pesan moral dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan adalah untuk tidak takut melawan kejahatan jika kamu memang berada di jalan yang benar. Keberanian La Beddu bisa kamu terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kamu juga belajar untuk tidak mudah putus asa. Permasalahan yang sedang kamu hadapi akan ada jalan keluarnya jika kamu berpikiran jernih dan bisa mengambil sikap bijak. Bukan hanya unsur-unsur intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang bisa kamu simpulkan dari dongeng di atas. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, seperti nilai budaya, sosial, dan moral. Baca juga Cerita Abu Nawas Mencari Cincin dan Ulasannya, Kisah Menggelikan yang Mengandung Pesan Bijak Fakta Menarik Sumber YouTube – Dongeng Kita Setelah menyimak cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan, saatnya kamu mengetahui informasi menarik yang bersangkutan tentang dongeng tersebut. Simak ulasannya dalam penjelasan berikut 1. Ada Versi Lain Karena dikisahkan secara turun-temurun, bukan sebuah kebetulan kalau ada versi lain dari cerita Nenek Pakande di Sulawesi Selatan. Meskipun awalnya memiliki plot yang sama, akhir cerita bisa saja memiliki penutup yang berbeda. Ada yang menceritakan kalau Nenek Pakande tidak benar-benar mati. Konon, dengan kesaktiannya, sang nenek terbang ke bulan sebelum sempat dibunuh oleh para penduduk desa. Maka dari itu, ada beberapa orangtua dari suku Bugis yang masih percaya bahwa arwah Nenek Pakande masih hidup abadi. Karena kepercayaan itulah, beberapa orangtua melarang anak-anak mereka yang masih kecil untuk bermain di luar rumah ketika malam telah tiba. Baca juga Kisah Pangeran Sarif dari Betawi yang Sakti dan Bijaksana Beserta Ulasan Lengkapnya Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande yang Legendaris Begitulah ringkasan kisah Nenek Pakande yang merupakan salah satu dongeng populer dari kumpulan cerita rakyat dari Sulawesi Selatan. Kamu bisa menceritakan kembali legenda tersebut kepada si kecil ataupun keponakan-keponakan kesayangan. Selain artikel ini, masih banyak dongeng keren lainnya yang bisa kamu temukan di PosKata. Beberapa di antaranya adalah kisah Abu Nawas Mencari Cincin, legenda Pulau Si Jangoi, dan cerita rakyat Telaga Alam Banyu Batuah. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri. Nenek Pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Nenek siluman itu adalah manusia kanibal yang sangat sakti. Ia sangat suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. Itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya Nenek bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. Suatu ketika, seorang pemuda yang cerdik bernama La Beddu berupaya untuk mengusir Nenek siluman ini karena kelakuannya telah meresahkan seluruh di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan suatu ketika, suasana tenang dan damai tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan sesosok siluman bernama Nenek Pakande. Ia datang ke negeri itu mencari mangsa untuk dijadikan santapannya. Nenek siluman itu sangat suka menyantap daging anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak selalu menjadi incarannya. Biasanya, Nenek Pakande mulai berkeliaran mencari mangsa ketika hari mulai juga Ternyata Beginilah Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan SoppengPada suatu sore, di saat hari mulai gelap, Nenek Pakande melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Anak itu termasuk anak bandel. Sudah berkali-kali dinasehati oleh orang tuanya agar segera masuk ke dalam, namun ia tetap saja asyik bermain seorang diri. Ketika suasana di sekitarnya sudah sepih, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nenek Pakande. Ia segera menangkap anak itu lalu membawanya Pakande keluar mencari mangsa saat menjelang saat kemudian, sang ibu kebingungan mencari anaknya. Ia sudah mencari di sekitar rumah namun tidak juga menemukannya. Dengan perasaan khawatir dan panik, ibu itu berteriak meminta tolong. Mendengar suara teriakan itu, para tetangga serentak berhamburan keluar rumah dan mengerumuni ibu itu. Sang ibu kemudian menjelaskan kronologi bagaimana anaknya itu mendengar penjelasan tersebut, para warga beramai-ramai mencari anak itu. Mereka sudah mencari hingga ke mana-mana, namun belum juga menemukannya. Karena malam sudah larut, akhirnya para warga menghentikan pencarian. Pada keesokan harinya, saat matahari mulai tampak di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan pencarian, namun hasilnya tetap malam berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini, seorang bayi yang menjadi korban. Bayi itu hilang di saat kedua orang tuanya sedang tertidur lelap. Kedua peristiwa tersebut benar-benar membuat resah seluruh warga. Para orang tua tidak dapat tidur pada malam hari karena harus menjaga anak-anak juga Mitos Masyarakat Zaman Dahulu Ketika Gerhana Matahari TerjadiMelihat keadaan tersebut, para dukun di Negeri Soppeng segera mencari tahu siapa penculik yang misterius itu. Dengan ilmu yang dimiliki, akhirnya mereka berhasil mengetahuinya. Berita tersebut kemudian mereka sampaikan kepada seluruh warga bahwa pelaku penculikan itu adalah Nenek Pakande. Betapa terkejutnya seluruh warga mendengar kabar tersebut karena mereka sangat mengenal watak atau perilaku Nenek dukun kemudian menjelaskan bahwa Nenek Pakande merupakan siluman yang sangat sakti dan tidak seorang pun manusia biasa yang mampu mengalahkannya. Dia hanya takut kepada sesosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa itu sudah tidak pernah lagi terdengar kabar warga kebingungan bagaimana menghadapi masalah itu. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, seorang pemuda yang duduk paling belakang tiba-tiba angkat bicara. Pemuda itu bernama La Beddu. Ia pemuda yang cerdik. La Beddu kemudian menyampaikan bahwa ia mempunyai sebuah cara untuk membinasakan Nenek siluman suasana pertemuan itu menjadi hening. Semua pandangan tertuju kepada pemuda itu. Sebagian dari warga memandangnya dengan penuh harapan. Namun, tak sedikit dari mereka yang memandangnya dengan pandangan yang juga Kisah Meong Palo Karellae di BarruBanyak warga yang meragukan La Beddu sebab Nenek Pakande sangat sakti, sementara La Beddu hanya pemuda biasa yang tidak mempunyai kesaktian sama sekali. La Beddu hanya tersenyum, lalu dengan tenang menyampaikan bahwa tidak selamanya kesaktian itu harus dilawan dengan kesaktian warga tercengang. Setelah itu, La Beddu menjelaskan bahwa satu-satu cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah kecerdikan. Karena Nenek Pakande hanya takut kepada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Oleh karena itu, La Beddu akan mengelabui Nenek Pakande dengan berpura-pura menjadi seperti raksasa penjelasan itu, para warga semakin bingung. Apalagi ketika La Beddu meminta kepada warga untuk menyiapkan masing-masing sebuah salaga garu, seember busa sabun, seekor kura-kura, seekor belut, selembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu warga sedikit bingung dengan permintaan itu, namun setelah diyakinkan oleh La Beddu, tanpa banyak tanya lagi, para warga segera melaksanakan permintaan La Beddu. Ada yang pergi mencari belut di sawah, ada pula yang mencari kura-kura di sungai. Sebagian yang lain sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember, sebuah batu besar, serta kulit rebung. Setelah memperoleh segala yang diperlukan, para warga segera membawanya ke rumah La juga Gunung Batu Lapidde BarruPara warga kemudian mendesak La Beddu untuk menjelaskan seluruh barang-barang yang dimintanya itu. La Beddu pun kemudian menjelaskan bahwa salaga yang bentuknya menyerupai sisir, busa sabun yang menyerupai air ludah, dan kura-kura yang menyerupai kutu manusia itu akan digunakan untuk mengelabui Nenek garu.Dengan menunjukkan benda-benda tersebut, Nenek Pakande akan mengira itu semua adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Sementara itu, kulit rebung yang bentuknya mirip terompet itu akan digunakan untuk menggelegarkan suaranya sehingga menyerupai suara raksasa itu. Adapun belut dan batu besar tersebut masing-masing akan diletakkan di depan pintu dan di depan itu, La Beddu bersama para warga segera menyusun siasat. Dua orang warga ditunjuk yang masing-masing akan bertugas meletakkan belut di depan pintu dan batu besar di depan tangga. Ketika hari mulai gelap, La Beddu segera naik ke atas loteng Sao Raja rumah istana untuk bersembunyi sambil membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung. Sementara itu, kedua warga yang telah diberi tugas bersembunyi di bawah kolong Sao semuanya siap, para warga mulai menjebak Nenek Pakande dengan cara mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa penerangan sedikit pun. Kecuali Sao Raja, pintunya dibuka lebar dan di dalamnya dinyalakan sebuah pelita. Selain itu, seorang bayi juga diletakkan di dalam kamar sebagai umpan untuk menjebak Nenek Pakande agar masuk ke dalam Sao Raja juga Situs Rumah Adat Saoraja LapincengMalam mulai menjelang, tak berapa lama kemudian, Nenek Pakande pun mendatangi Sao Raja tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia melangkah perlahan-lahan menaiki anak tangga Sao Raja satu per satu. Saat berada di depan pintu, indra penciumannya langsung merasakan bau bayi yang sangat siluman itu pun langsung masuk ke dalam Sao Raja. Pada saat itulah, kedua warga yang bersembunyi di bawah kolong Sao Raja segera melaksanakan tugas mereka lalu kembali ke tempat persembunyianya tanpa sepengetahuan Nenek Nenek Pakande hendak mendekati bayi yang ada di dalam kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara keras yang menegurnya.“Hai, Nenek Pakande! Mau apa kamu datang kemari, ha?”Suara itu tidak lain adalah suara La Beddu yang menggunakan kulit rebung di atas loteng. Namun, Nenek Pakande tidak mengetahui hal itu.“Suara siapa itu?” Tanya Nenek Pakande dengan terkejut.“Aku adalah raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ha… ha… ha… !” Jawab suara itu seraya tertawa jawaban itu, Nenek Pakande mulai ketakutan. Namun, ia belum yakin jika itu adalah suara raksasa tersebut.“Apa buktinya jika engkau adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?”La Beddu yang berada di atas loteng segera menumpahkan busa sabun dari embernya tepat di depan Nenek Pakande. Alangkah terkejutnya perempuan siluman itu karena mengira busa sabun tersebut adalah air ludah raksasa itu.“Bagaimana, Nenek Pakande? Apakah kamu masih meragukan diriku?” Tanya suara itu.“Bukti apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan padaku?” Nenek Pakande balik pertanyaan itu, La Beddu segera menjatuhkan salaga dan kura-kuranya secara beruntun. Melihat kedua benda tersebut, Nenek Pakande langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Ia mengira kedua benda tersebut adalah sisir dan kutu milik raksasa juga Asal Usul Istilah Tolo’ Bagi Sang JagoanBegitu ia melewati pintu Sao Raja, kakinya menginjak belut yang diletakkan di tempat itu hingga terpeleset dan akhirnya terjatuh berguling-guling di tangga. Saat sampai di tanah, kepalanya terbentur pada batu besar yang sudah disiapkan di depan terluka parah, Nenek Pakande masih mampu berdiri dan melarikan diri entah ke mana. Namun, sebelum meninggalkan negeri itu, ia sempat berpesan kepada seluruh warga bahwa kelak ia akan kembali untuk memangsa anak-anak mereka. Oleh sebab itulah, hingga kini, masyarakat Soppeng sering menggunakan cerita ini untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di luar di rumah ketika hari sudah cerita rakyat dari daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan menggunakan akal sehat. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku La Beddu. Berkat kecerdikannya, ia dengan dibantu oleh para warga berhasil mengusir Nenek Pakande dari Negeri Soppeng. Makassar - Nenek Pakande adalah salah satu cerita rakyat yang populer di masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Dalam cerita rakyat Bugis, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok nenek tua yang suka memakan atau memangsa Pakande berasal dari kata "manre' yang artinya makan. Jadi Pakande bisa diartikan sebagai "si tukang makan".Ada beragam cerita dan versi dari cerita rakyat Nenek Pakande ini. Berikut ini salah satu versi cerita Nenek Pakande dilansir dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1999 berjudul "Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan". Dikisahkan, dua orang anak laki-laki bersaudara yang hidup bersama ayah dan ibu tirinya. Si sulung berusia 5 tahun dan si bungsu berusia 2 kedua anak ini bekerja sebagai petani. Ketika berangkat ke kebun, kedua anak ini tinggal bersama dengan ibu ibu tiri mereka memiliki perangai yang jahat dan tidak menyukai kedua anaknya. Kerap kali, mereka tidak diberi makan hingga sang Ayah pulang, barulah si ibu tiri ini menarik anaknya ke dapur dan dia melumuri muka kedua anak itu dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada si Ayah, bahwa kedua anak tersebut kerjanya cuma makan sepanjang ayahnya hendak makan, kedua anak itu mendekat meminta makanan karena lapar. Hal ini membuat sang ayah bertanya kepada si ibu tiri apakah anak-anaknya sudah tiri pun berbohong bahwa anak-anak itu tidak berhenti makan."Tidak berhenti-hentinya makan. selalu di dapur saja tinggal, coba lihat, masih ada nasi berlumuran di pipinya," kata ibu setiap hari yang dialami oleh kakak-beradik hari, kedua anak ini sedang bermain bola di depan rumah mereka. Tiba-tiba tanpa sengaja bola yang dimainkan melayang masuk ke dalam rumah dan mengenai ibu tiri pun murka bukan kepalang. Ia berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan si ayah pulang, dibujuknya suaminya untuk turut membunuh sang anak. Dikatakan kepadanya bahwa kedua anak tersebut menjadi semakin nakal dan jahat Ayah pun terpengaruh. Ditariknya kedua anaknya untuk itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah seorang tetangga kemudian menghampiri dan mengatakan kepada suami istri itu agar jangan membunuh anak mereka sendiri di dalam rumah."Biarkanlah saya yang membawanya ke hutan dan membunuhnya. Nanti kedua hatinya akan saya bawa pulang untuk kalian," bujuk tetangga mereka melepas kedua anak tersebut untuk dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah hutan, si tetangga merasa iba kepada kedua anak tersebut. Ia meminta anak tersebut untuk pergi membuang diri dan jangan pernah kembali lagi ke rumah tetangga kemudian mengambil hati binatang untuk dibawa anak laki-laki tersebut terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak berselang lama, mereka menemukan sebuah rumah tua."Kita singgah di sini dik, kita minta nasi," ujar si sulung pada mendapati rumah tersebut ternyata tidak berpintu. Maka mereka pun langsung masuk. Di dalam rumah itu terlihat tulang belulang berserakan di lantai dan di begitu lapar, mereka mencari sang empunya rumah. Namun tak seorang pun ke dapur mereka melihat berbagai makanan tersimpan di sana. Karena rasa lapar yang begitu mendera, mereka memberanikan diri mengambil makanan dan menyantapnya dengan malam, tiba-tiba terdengarlah suara seperti guntur. Keduanya kaget dan ketakutan."Hmmm... ada yang berbau manusia!," bunyi suara itu saat itu, barulah mereka sadar bahwa itu adalah rumah Nenek Pakande. Sosok makhluk perempuan tua pemakan naik ke rumah, berkatalah Nenek Pakande "Siapakah engkau cucu-cucu?"."Kamilah anak yang tidak beribu. Bapak kami sudah beristri lagi, dan ibu tiri tidak menyukai kami. Terpaksa kami membuang diri. Dan sampailah kami di rumah ini," kata anak-anak itu."Baiklah! Tinggallah kalian di sini cucu-cucu. Kalian jaga rumah ini, sebab saya selalu bepergian," bujuk si Nenek."Sudahkah kalian makan?" lanjutnya."Sudah nek!" jawab anak-anak itu."Makanlah yang banyak supaya cepat besar!" kata si anak itu pelan-pelan mulai tenang. Mereka pun percaya dengan ajakan si Nenek Pakande."Bagaimana ukuran hatimu cucu?" si nenek bertanya lagi."Baru sebesar biji beras, nek," jawab anak-anak itu."Makanlah, makanlah supaya engkau lekas besar!" kata Nenek Pakande dialog yang terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan Nenek selengkapnya di halaman berikut...